Pemerintah Indonesia mengklaim kasus Covid-19 di Jakarta yang menjadi epidemi penyebaran virus corona di Indonesia, "mengalami perlambatan yang sangat pesat", namun sehari setelahnya penambahan kasus di Jakarta kembali melampaui 100 orang.
Liputan Jakarta, - Data fluktuatif ini seiring banyaknya orang tanpa gejala dan warga yang bergerak di Jakarta 'masih sekitar 30-50%'.
Meski mengakui penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di ibu kota selama dua pekan terakhir telah menunjukkan hasil, namun pakar pemodelan matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Nuning Nuriani menekankan pemerintah perlu mewaspadai puncak kasus yang diperkirakan akan terjadi akhir Mei atau awal Juni.
Sebelumnya, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia, Doni Monardo menyebut kasus positif Covid-19 di Jakarta "mengalami perlambatan yang sangat pesat dan saat ini sudah mengalami flat".
Akan tetapi, perawat rumah sakit darurat Covid-19 di Wisma Atlet, Jakarta yang menangani pasien di high care unit (HCU), Kamal Putra Pratama mengungkapkan fenomena kasus di lapangan justru tidak berkurang.
"Fenomenanya kita lihat di lapangan tidak berkurang. Kami kan ada beberapa bagian, ada yang di rawat inap, UGD, dan HCU-high care unit. Tren [pasien] di HCU saat ini berkurang memang, tapi tren [pasien] di UGD kita belum tahu ada berapa, sedangkan kalau data hariannya lumayan banyak," uja Putra. Selasa (28/04).
Satu perawat menangani setidaknya tujuh pasien
Relawan perawat yang bertugas di unit pelayanan rawat inap bagi pasien yang masih memerlukan pengobatan, perawatan, dan pemantauan secara ketat, atau high care unit (HCU) di rumah sakit darurat Covid 19 Wisma Atlet, Jakarta mengaku khawatir dengan jumlah pasien yang naik turun setiap harinya.
"Kalau hari ini memang landai untuk malam tadi [pasien] di HCU sedikit, tapi saat lagi banyak itu overload banyak," ujar Putra kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/04).
"Terus laporan yang setiap hari masuk via radio atau via WhatsApp untuk penambahan pasien Covid-19 selalu ada setiap harinya, yang positif malah, bukan yang negatif," ujarnya kemudian.
Perawat ini mengatakan di unit rawat inap, dua perawat harus menangani 40 pasien. Sedangkan di unit HCU, enam perawat menangani sekitar 40 pasien sekaligus per harinya.
"Sekitar lima atau tujuh pasien kita pegang per perawat," tuturnya.
Dengan banyaknya pasien yang harus dirawat dan jam kerja yang terhitung panjang sekitar 8-9 jam, dia menyebut pekerjaannya "sangat menguras energi".
Kendati secara fisik terlatih untuk bekerja dalam shift kerja yang panjang, namun karena diwajibkan mengenakan baju hazmat dan perlengkapan medis yang lengkap selama bertugas membuat perawat usia 35 tahun ini harus lebih memusatkan fokus
"Di situ ada aerosol, kalau kita nggak disiplin, misalnya ngebuka masker. Aduh, nanti corona masuk ke kita," tuturnya.
Idealnya, lanjut Putra, perawat yang menangani pasien Covid-19 bertugas selama 6 jam per hari, sebab dengan delapan jam kerja, dua jam terakhir para perawat berisiko mengalami fatigue, atau kelelahan.
"Ketika fatigue, kita ngucek mata, itu potensi kita lalai," kata dia.
"Apalagi karbondioksida yang kita hirup di balik masker, jadi merasa lebih cepat lelah," imbuhnya.
Putra yang bertugas di Wisma Atlet sejak rumah sakit darurat itu beroperasi Maret silam mengakui kendati ada perlambatan kasus Covid-19 di Jakarta selama beberapa hari terakhir, dia masih mewaspadai banyaknya pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pengawasan (ODP) dan orang tanpa gejala (OTG) yang masih belum terdata.
Dengan kondisi ini, dia mengaku harus bersiap makin banyak pasien yang dirawat di Wisma Atlet.
"Mindset kita akan berpikir, beban kerja kita akan bertambah, tetapi kalau kita bilang terbebani dalam arti mengeluh, nggak sih. Itu tugas kita memang, mau 1.000 pasien juga kita siap," kata dia.
Namun, yang membuat miris adalah semakin banyak petugas medis yang terpapar virus corona ketika merawat pasien Covid-19.
"Dan nanti risiko di gelombang puncak, paling banyak yang akan dirawat adalah tenaga medis," Kamal mengungkap khawatirnya.
Per Senin (27/04), setidaknya ada 47 perawat di Indonesia dinyatakan positif Covid-19. Adapun jumlah perawat berstatus ODP dan PDP masing-masing berjumlah 546 orang dan 44 orang.
Fluktuasi kasus di Jakarta
Setelah sempat mengalami perlambatan kasus positif Covid-19 selama lima hari terakhir, pada Selasa (28/04) terjadi peningkatan kasus di Jakarta. Ada133 kasus baru Covid-19 yang didata Kementerian Kesehatan.
Padahal sehari sebelumnya, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia, Doni Monardo menyebut kasus positif Covid-19 di Jakarta "mengalami perlambatan yang sangat pesat dan saat ini sudah mengalami flat".
"Ini diakibatkan karena PSBB yang telah berjalan dengan baik. Gubernur DKI telah melaporkan tentang hasil yang dicapai selama pelaksanaan PSBB," kata Doni.
Selama PSBB dua pekan terakhir, Jakarta menerapkan protokol kesehatan seperti jaga jarak fisik dan sosial, serta mewajibkan industri dan perkantoran berhenti beroperasi, selain industri yang bergerak di 11 sektor yang dikecualikan.
Selama PSBB, ada 543 perusahaan dan tempat kerja yang melanggar ketentuan ini. Sebanyak 76 di antaranya disegel, sementara sisanya mendapat peringatan dan teguran.
Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, mengungkapkan meski selama beberapa hari terakhir jumlah kasus Covid-19 di Jakarta mengalami perlambatan, namun menurutnya dengan tingkat kepatuhan warga yang belum sempurna, kemungkinan puncak kasus Covid-19 baru akan terjadi pada akhir Mei atau awal Juni.
"Harus sangat hati-hati untuk menyimpulkan apakah sudah turun, apakah kita sudah sempat sampai puncak, atau sekarang turun, kalau dari kajian kami rasanya memang ada dampak dari physical-social distancing dan juga PSBB, tetapi belum cukup signifikan untuk menekan reproduksi dasar sampai dibawah 1," kata dia.
Tingkat dengan nilai 1 berarti 1 orang dapat menularkan penyakit tersebut pada 1 orang lain. Semakin tinggi angka ini, semakin banyak infeksi dari satu kasus. Jadi, untuk mengakhiri penyebaran, jumlah ini harus turun di bawah 1.
Nuning bersama tim SimcovID yang terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi menyiapkan beberapa skenario kapan puncak kasus Covid-19 dengan pemberlakuan PSBB.
PSBB dianggap berhasil apabila 90% mematuhi langkah-langkah pembatasan yang dilakukan.
"Jika masyarakat lebih patuh, pemerintah lebih serius suntuk menegakkan aturan, kontaknya lebih ditekan, maka bulan Juni beberapa kota sudah bisa berada di akhir pandemi. Tapi dengan catatan yang bergerak hanya 10%," kata dia.
Padahal kenyataannya, lanjut Nuning, sekitar 30-50% penduduk masih melakukan kontak hingga kini.
"Artinya bahwa kalau proyeksi angka kontak yang sekian ini kita hitung ke depan, puncak baru ada di akhir Mei, awal Juni. Itu baru puncak, selesainya bisa lebih lama lagi," jelas Ninung.
Sementara, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengungkapkan perlambatan kasus Covid-19 selama lima hari terakhir dan pelonjakan kasus yang terjadi pada Selasa (28/04) bukan serta merta dampak langsung dari PSBB, melainkan disebabkan faktor lain, seperti misalnya kurangnya ketersediaan reagen untuk pemeriksaan Covid-19 di laboratorium.
"Dengan reagen yang kurang, berarti kemampuan deteksi akan berkurang baik di Jakarta maupun di provinsi lain," kata dia.
"Kalau dilaksanakan PSBB, pasti transmisinya berkurang, kemungkinan kasus riil juga akan berkurang, tapi apakah itu terdeteksi atau tidak terdeteksi, kita tidak tahu," kata dia.
Sejumlah daerah alami pelonjakan kasus
Di sisi lain, meski di Jakarta sempat mengalami perlambatan kasus, sejumlah daerah justru mengalami pelonjakan kasus.
Beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara mencatat penambahan korban positif Covid-19 yang cepat dalam tiga hari terakhir.
Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, mengungkapkan pelonjakan kasus di sejumlah daerah karena imbas dari mudik, karena kasus-kasus yang terjadi di sejumlah daerah kebanyakan merupakan kasus ekspor dari Jakarta.
Yang perlu diwaspadai, kata Nuning, adalah banyaknya pendatang dari Jakarta yang tiba di daerah namun tidak melakukan isolasi mandiri terlebih dahulu.
"Kalau masuk begitu saja, dia tidak tahu statusnya dirinya apa. Ternyata dia katakanlah orang tanpa gejala, ini sangat berbahaya untuk menimbulkan episentrum di daerah," kata dia.
"Sayangya, belum banyak rumah sakit dan puskesmas di daerah memiliki protokol penanganan Covid-19 yang baik, artinya ini malah lebih berbahaya," imbuhnya.
Tri Yunis Miko Wahyono yang juga merupakan Kepala Departemen Epidemiologi di Universitas Indonesia mengatakan Jakarta menjadi pusat wabah dengan 4.002 kasus dari keseluruhan 9.511 kasus positif per Selasa (28/04).
Namun pelonjakan kasus di daerah lain mengindikasikan bahwa wabah telah meluas ke semua provinsi, kata Miko.
"Para provinsi yang kasusnya sedikit, kurang dari 100, kalau saja mereka bisa mengisolasi kasusnya dan melakukan contact tracing dengan baik, maka kasusnya tidak akan bertambah, contact tracing harus dilakukan selain PSBB," jelas Miko.
"Jadi PSBB bukan semata-mata yang menurunkan jumlah kasus," tegasnya.
Sementara itu, juru bicara penanganan Covid-19 di Indonesia, Achmad Yurianto, mengatakan testing, contact tracing dan trimming movement atau PSBB menjadi jurus pemerintah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
"Sudah ada dua provinsi yang sudah mengimplemetasikan dan 22 Kabupaten/Kota yang sudah melaksanakan PSBB. Tentunya ini akan kita evaluasi secara terus menerus, baik pada aspek epidemiologi, bahwa pertambahan kasus baru bisa kita tekan, sebaran penularan bisa kita tekan dan kemudian kontak lokal bisa kita kendalikan dengan baik," kata dia.
Source: bbcindonesia
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar