Liputan Indonesia || Surabaya - Warga Surabaya masih resah terkait kepemilikan tanah yang masih dianggap oleh Pemerintah kota sebagai hak guna bangunan (HGB) dijadikan surat ijo, sampai kapan surat ijo bisa menjadi sertifikat, warga Surabaya tetap akan melawan.
Forum Analisis Surabaya ( FASIS ) melakukan jumpa pers bersama penasehat hukumnya (PH), Sabtu (4/5/2024) di gedung balai Rw Ngagel Wasana I Surabaya bersama warga Surabaya terdampak surat ijo.
Pertemuan warga bersama FASIS berharap bisa memberikan harapan baru terkait perjuangan dalam mendapatkan Hak Atas Tanah, tercantum Pasal 9 ayat 2 Undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Dalam kenyataan jaminan "Pengakuan" Negara atas "Hak Asasi" pribadi warga negara untuk memperoleh "hak atas tanah", hal tersebut tidak berlaku di kota Surabaya. Kuat dugaan terjadi melawan hukum (Maladministrasi) hak menguasai negara, mengacu pasal 1 angka 1 Undang undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pantauan awak Media, Diskusi FASIS dan Warga tanya jawab terkait Pendaftaran Hak Atas Tanah sesuai SK. Sesuai pasal 2 ayat 3 undang undang nomor 5 tahun 1960 "dalam kerangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, Negara memberikan kesempatan bagi warga Negara Indonesia untuk memperoleh Hak Atas Tanah diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra / Pemerintah Daerah untuk di kelola, yang di istilahkan dengan hak atas tanah di atas hak pengelolaan (HGB diatas HPL) atas Tanah Negara. Dimana warga berkedudukan sebagai pemilik bangunan yang ada hak atas tanah nya di atas Hak Pengelolaan Pemerintah Daerah.
Ketua umum Fasis Saleh Alhasni menyampaikan kepada para awak media bahwa tempat yang saya tempati itu sertifikat nomor berapa, kalau saya sudah tau saya bisa melakukan gugatan, bahkan saya sampai di PK hanya meminta informasi publik saja oleh pemerintah, itupun pasti dibatasi 90 hari dan langkah selanjutnya akan kami bawa ke Ombudsman.
Disambung oleh Sarah Serena, S.H, M.H, penasehat hukum (PH) sebagai pendamping teman - teman atas surat ijo dan bergabung sebagai biro hukum Forum Analisis Surabaya (Fases), dikatakan nya bahwa teman - teman selama ini berjuang melawan pemerintah kota Surabaya, untuk memperoleh hak atas tanah tidak kesannya asal - asalan, kami melakukan kajian - kajian hukum berdasarkan dokumen - dokumen yang kami peroleh dari berbagai sumber.
Dan kami menemukan beberapa banyak pasal - pasal hukum yang di manipulasi pemerintah termasuk HGP diatas HPL, isu HGB di atas HPL ini adalah sebenarnya bukan isu baru tetapi sudah isu lama karena sudah ada SK HPL sejak Tahun 1997. Tetapi warga baru mengetahui pada Tahun 2020 pada saat pasalnya mengajukan gugatan ke komisi informasi publik baru ketahuan, setelah sekian puluh tahun lamanya, terang Sarah.
Ketika sekarang pemerintah kota bargaung mau memberikan solusi, ini adalah manipulasi, manipulatif karena sudah ada dari dulu, berarti ingin mencari keuntungan di atas penderitaan Warga, pungkasnya.
Sementara Mas Jhoniel Lewi sebagai pengawas Fasis hanya menambahkan inti pokok permasalahan " tujuan mendaftarkan atas hak tanah sesuai dengan UU Agraria ".
Dan ketika liputan Indonesia.co.id menemui seorang warga, Tien Trimarjani (66) warga Ngagel Wasana I RT.02 RW.02 kelurahan Barata Jaya Kecamatan Gubeng, mengatakan bahwa sudah lama bertempat tinggal di Ngagel Wasana sejak Tahun 1965 ( 59 Tahun ) mengaku dari masih kecil dan di jelaskan disini masih berupa sawah dan di timbuni sampah.
Ketika awak media bertanya tentang masalah surat tanah yang dimiliki, dengan antusias dijawab pada waktu itu saya masih kecil sepengetahuan saya ada berupa kayak kwitansi tapi sekarang tidak ada, dikarenakan pada waktu itu bapak saya (Dwijo Saputro.M) ikut dalam pengurusan legalisasi aset tanah atau proses administrasi pertanahan, pendaftaran Tanah (prona) yang dilakukan bersama - sama disitulah bapak membawa bukti yang dimiliki.
Sebelum ada surat ijo sudah berupaya untuk merebut hak yang dimiliki namun selalu ada yang ngekat, dan setelah surat ijo ada Ijin pemakaian tanah (IPT) istilah ijin sewa di Pemkot, yang artinya warga dikenakan semacam kayak bayar pajak bumi dan bangunan ( PBB ), kalau memang Pemkot merasa yang memiliki tanah tersebut seharusnya ya Pemkotlah yang bayar, tapi kenapa warga yang menempati yang disuruh bayar inilah yang dinamakan akal - akalan," ungkap Trimarjani.
Harapan saya kalau Pemkot tidak merasa memiliki, tolong kembalikan yang dimiliki warga selama ini baik itu berupa sertifikat atau kwitansi yang seperti yang dimiliki orang tua saya," pungkasnya.
Penulis : Soen
Baca juga:
"Berita Terbaru Lainnya"
"Berita Terbaru Lainnya"
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar