"Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020," papar Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (29/11).
Sebelumnya, MK melalui putusannya telah memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Jika tidak diperbaiki, UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali.
Namun, pakar hukum tata negara dan kalangan pegiat menilai putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, terkesan seperti mencari "jalan tengah."
Apa saja putusan MK?
Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar melalui kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (25/11), Majelis Hakim MK menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK Anwar Usman sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR, melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.
Apabila dalam periode tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen dan semua UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali.
"Dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan [UU Cipta Kerja], undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar Usman.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.
Selain itu, pemerintah juga dilarang membuat peraturan pelaksana baru turunan dari UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan.
"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ucap Anwar.
Dalam pernyataan kepada wartawan di Istana Negara, Senin (29/11), Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"Saya telah memerintahkan pada para menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya. Dan MK sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku," papar Presiden Jokowi.
Menurutnya, dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja oleh MK, maka seluruh materi dan substansi dalam UU Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasalpun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK.
"Oleh karena itu saya pastikan kepada para pelaku usaha dan para investor dari dalam dan luar negeri bahwa investasi yang telah dilakukan serta investasi yang sedang dan akan berproses tetap aman dan terjamin," kata Presiden Jokowi.
Sesaat setelah MK menetapkan putusannya, pada Kamis (25/11), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan memperbaiki UU Cipta Kerja setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan undang-undang itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
"Setelah mengikuti sidang MK, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan daripada MK serta akan melaksanakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK yang dimaksud," kata Airlangga dalam konferensi pers melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (25/11).
Dia juga mengatakan pemerintah akan menyiapkan perbaikan undang-undang sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.
Gelombang demonstrasi menentang UU Cipta Kerja terus bergulir setelah undang-undang itu disahkan pada 5 Oktober 2020.
Putusan MK mencari jalan tengah
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, terkesan seperti mencari "jalan tengah." Hal itu bisa dilihat dari amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim yang memiliki pendapat berbeda.
"Jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional, artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku," kata Bivitri melalu pesan singkat pada Jumat (26/11).
Namun, dia menambahkan, putusan itu membedakan antara proses dan hasil, sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi undang-undangnya tetap konstitusional dan berlaku.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyebut putusan MK sebagai putusan kompromi. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, MK memberikan putusan yang dianggap menggantung dan tidak tegas.
"Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan batal saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran," sebut YLBHI bersama 17 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia dalam siaran persnya.
Empat hakim MK yang menyatakan memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan gugatan UU Cipta Kerja adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Daniel Yusmic P Foekh, dan Manahan MP Sitompul.
Mereka berpendapat pembuatan UU Cipta Kerja tidak bertentangan dengan asas-asas pembentukan perundangan-undangan dan menyebut metode Omnibus Law sangat dibutuhkan karena jika tidak menggunakan metode ini, ada 78 undang-undang yang harus dibuat.
Perbedaan pendapat empat hakim ini dinilai YLBHI pembuktian atas kekhawatiran masyarakat bahwa MK bisa tunduk terhadap eksekutif.
Bivitri menilai jalan keluar yang dipilih MK itu tergambar dari rekam jejak MK sebelumnya, yang tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum dalam membuat putusan.
"Bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itulah, jalan keluarnya adalah 'conditionally unconstitutional' atau putusan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun." ujar Bivitri.
Ratusan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, di Alun-alun Serang, Banten, Oktober 2020
Meski UU Cipta Kerja masih berlaku sampai paling lama dua tahun lagi, pendiri Sekolah Tinggi HJukum Indonesia Jentera itu mengatakan keputusan tersebut sedikit melegakan karena MK melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana baru dan kebijakan lainnya yang bersifat strategis, yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat) dalam 2 tahun ini. Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku," kata Bivitri.
Namun, dia menambahkan, pemerintah juga harus benar-benar diawasi apakah mereka melaksanakan putusan MK itu atau tidak.
Pemantauan terhadap uji materil yang masih berlangsung juga dibutuhkan untuk melihat norma-norma yang mungkin dinyatakan inkonstitusional ataupun ditafsirkan oleh MK sehingga juga akan menyumbang pada pembahasan selama dua tahun ini.
"DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan MK untuk memperbaiki proses legislasi dalam memperbaiki UU Cipta kerja, sehingga semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi secara substantif. Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini," kata Bivitri.
Dinilai kontraproduktif
Semenjak Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana untuk membuat UU Cipta Kerja, telah ada kritikan terhadap tujuan dan rancangannya, UU yang kerap dijuluki ' Omnibus Law' dinilai "terlalu kapitalistik dan neoliberalistik" serta "kurang transparan dan kurang melibatkan pekerja dan civil society."
Upaya pemerintah dalam perampingan aturan demi menyederhanakan ijin investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru dinilai kontraproduktif oleh pengamat ekonomi.
Rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menentang Omnibus Law pun berlangsung di sejumlah daerah.
Bagaimana respons pemerintah?
Dalam pernyataan kepada wartawan di Istana Negara, Senin (29/11), Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"Saya telah memerintahkan pada para menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya. Dan MK sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku," papar Presiden Jokowi.
Menurutnya, dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja oleh MK, maka seluruh materi dan substansi dalam UU Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasalpun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK.
"Oleh karena itu saya pastikan kepada para pelaku usaha dan para investor dari dalam dan luar negeri bahwa investasi yang telah dilakukan serta investasi yang sedang dan akan berproses tetap aman dan terjamin," kata Presiden Jokowi.
Sesaat setelah MK menetapkan putusannya, pada Kamis (25/11), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan memperbaiki UU Cipta Kerja setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan undang-undang itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
"Setelah mengikuti sidang MK, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan daripada MK serta akan melaksanakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK yang dimaksud," kata Airlangga dalam konferensi pers melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (25/11).
Dia juga mengatakan pemerintah akan menyiapkan perbaikan undang-undang sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.
Gelombang demonstrasi menentang UU Cipta Kerja terus bergulir setelah undang-undang itu disahkan pada 5 Oktober 2020.
Putusan MK mencari jalan tengah
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, terkesan seperti mencari "jalan tengah." Hal itu bisa dilihat dari amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim yang memiliki pendapat berbeda.
"Jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional, artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku," kata Bivitri melalu pesan singkat pada Jumat (26/11).
Namun, dia menambahkan, putusan itu membedakan antara proses dan hasil, sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi undang-undangnya tetap konstitusional dan berlaku.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyebut putusan MK sebagai putusan kompromi. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, MK memberikan putusan yang dianggap menggantung dan tidak tegas.
"Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan batal saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran," sebut YLBHI bersama 17 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia dalam siaran persnya.
Empat hakim MK yang menyatakan memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan gugatan UU Cipta Kerja adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Daniel Yusmic P Foekh, dan Manahan MP Sitompul.
Mereka berpendapat pembuatan UU Cipta Kerja tidak bertentangan dengan asas-asas pembentukan perundangan-undangan dan menyebut metode Omnibus Law sangat dibutuhkan karena jika tidak menggunakan metode ini, ada 78 undang-undang yang harus dibuat.
Perbedaan pendapat empat hakim ini dinilai YLBHI pembuktian atas kekhawatiran masyarakat bahwa MK bisa tunduk terhadap eksekutif.
Bivitri menilai jalan keluar yang dipilih MK itu tergambar dari rekam jejak MK sebelumnya, yang tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum dalam membuat putusan.
"Bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itulah, jalan keluarnya adalah 'conditionally unconstitutional' atau putusan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun." ujar Bivitri.
Ratusan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, di Alun-alun Serang, Banten, Oktober 2020
Meski UU Cipta Kerja masih berlaku sampai paling lama dua tahun lagi, pendiri Sekolah Tinggi HJukum Indonesia Jentera itu mengatakan keputusan tersebut sedikit melegakan karena MK melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana baru dan kebijakan lainnya yang bersifat strategis, yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat) dalam 2 tahun ini. Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku," kata Bivitri.
Namun, dia menambahkan, pemerintah juga harus benar-benar diawasi apakah mereka melaksanakan putusan MK itu atau tidak.
Pemantauan terhadap uji materil yang masih berlangsung juga dibutuhkan untuk melihat norma-norma yang mungkin dinyatakan inkonstitusional ataupun ditafsirkan oleh MK sehingga juga akan menyumbang pada pembahasan selama dua tahun ini.
"DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan MK untuk memperbaiki proses legislasi dalam memperbaiki UU Cipta kerja, sehingga semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi secara substantif. Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini," kata Bivitri.
Dinilai kontraproduktif
Semenjak Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana untuk membuat UU Cipta Kerja, telah ada kritikan terhadap tujuan dan rancangannya, UU yang kerap dijuluki ' Omnibus Law' dinilai "terlalu kapitalistik dan neoliberalistik" serta "kurang transparan dan kurang melibatkan pekerja dan civil society."
Upaya pemerintah dalam perampingan aturan demi menyederhanakan ijin investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru dinilai kontraproduktif oleh pengamat ekonomi.
Rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menentang Omnibus Law pun berlangsung di sejumlah daerah.
Rapat paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, walaupun terus mendapat penolakan dari berbagai kelompok buruh dan sejumlah pihak lainnya.
Terdapat total XII bab dalam UU tersebut antara lain peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; kebijakan fiskal nasional; dukungan riset dan inovasi.
Bagaimana perjalanan pembahasan RUU Cipta Kerja?
Diawali pernyataan Presiden Joko Widodo, dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, yang isinya mengatakan bahwa pemerintah akan membuat Omnibus Law, bergulir proses pembahasannya, seperti dilaporkan Koran Tempo (05/10 dan 13/10), serta Majalah Tempo (18/10):
- 16 Desember 2019: Pemerintah membentuk satuan tugas omnibus law yang dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri, Rosan Roeslani.
- 13 Januari 2020: Unjuk rasa oleh kelompok buruh menolak RUU Cipta Lapangan Kerja.
- 15 Januari: Presiden Jokowi ingin agar naskah akademik omnibus law Cipta Kerja selesai sebelum 100 hari masa kerja Kabinet Indonesia Maju.
- 20 Januari: Puluhan ribu buruh berdemonstrasi menolak omnibus law di gedung DPR.
- 22 Januari: DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja masuk Program Legislasi Nasional prioritas 2020.
- 7 Februari 2020: Pemerintah menyerahkan draf Omnibus Law ke DPR. Nama RUU itu berubah menjadi Cipta Kerja.
- 4 Maret 2020: Sejumlah ormas sipil menolak undangan Kantor Staf Presiden untuk membahas RUU Cipta Kerja. Dan, mahasiswa berunjuk rasa di gedung DPR dan di beberapa daerah.
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 6 Oktober 2020.
- 9 Maret 2020: Mahasiswa gelar unjuk rasa menolak omnibus law di Jalan Gejayan, Yogyakarta.
- 2 April 2020: DPR menyetujui pembahasan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna.
- 14 April 2020: Pemerintah dan DPR menggelar rapat pertama.
- 22 April 2020: Tiga pemimpin organisasi serikat buruh menemui Presiden Jokowi di Istana Negara.
- 24 April 2020: Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.
- 24 April-10 Oktober 2020: DPR menggelar 64 rapat membahas RUU ini.
- 2 Agustus 2020: Tim teknis tripartit yang beranggotakan unsur pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha yang dibentuk Kemenaker merampungkan pembahasan kluster ketenagakerjaan.
- 3 Oktober 2020: Pemerintah dan DPR sepakat membawa RUU Cipta Kerja ke sidang paripurna 8 Oktober 2020.
- 5 Oktober 2020: Rapat paripurna DPR dimajukan. UU Cipta Kerja disahkan. Beredar naskah setebal 905 halaman.
- 6-8 Oktober 2020: Puluhan ribu buruh, mahasiswa dan masyarakat sipil berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
- 7 Oktober 2020: Badan Legislasi DPR mengotak-atik sejumlah pasal.
- 8 Oktober 2020: Badan Legislasi DPR masih mengubah sejumlah pasal.
- 9 Oktober 2020: Presiden Jokowi merespons pengesahan omnibus law dan meminta pihak yang tidak puas mengugat ke MK.
- 12 Oktober 2020: Naskah omnibus law beredar dua kali, setebal 1.035 halaman dan 812 halaman.
- 13 Oktober 2020: Sekjen DPR mengkonfirmasi naskah final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman. Unjuk rasa anti-UU Cipta Kerja berakhir ricuh.
- 14 Oktober 2020: Sekjen DPR mengirimkan naskah final UU Cipta Kerja setebal 812 halaman ke Istana.
Penulis :
Editor :
"Berita Terbaru Lainnya"
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar