Pandemi Covid-19 dianggap memperburuk situasi HAM di Indonesia pada 2020, terutama dengan situasi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang tidak sesuai dengan standar HAM internasional.
Situasi memburuknya HAM seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi menjadi tren di kawasan Asia Pasifik dan global. Banyak pemerintah di kawasan yang memberlakukan peraturan untuk menghukum pelaku penyebaran hoaks atau berita bohong terkait Covid-19.
Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya mengatakan ruang untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia semakin menyusut sepanjang 2020, antara lain karena terus adanya penerapan sewenang-wenang pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Kami melihat bahwa penerapan UU ITE dan KUHP yang tidak sesuai menjadi ancaman terbesar pada kebebasan berekspresi," ujar Ari dalam konferensi pers Laporan Tahunan Amnesty International Indonesia, Rabu (07/04).
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengatakan momen pandemi menjadi titik di mana para penegak hukum memperlihatkan upaya eksesif untuk membungkam kebebasan berekspresi, baik dengan UU ITE atau regulasi-regulasi lain yang menyusul.
"Ini tentu saja kontradiktif sekali dengan banyak kebijakan, kita ingat kebijakan pemerintah di awal-awal pandemi, melepaskan banyak orang dari penjara untuk menghindari transmisi atau penyebaran Covid-19, tapi justru banyak orang dijerat dengan UU ITE," kata Damar.
"Masyarakat masih melihat UU ITE sebagai momok," tegasnya.
Menanggapi hal ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk merevisi UU ITE.
"Presiden sudah meminta Menkopolhukam dan Kapolri untuk meninjau undang-undang ITE. Opsinya adalah untuk merevisi undang-undang ITE dan perbaikan protap (prosedur tetap) di penegakkan hukum terkait dengan ITE," katanya.
Sayangnya, revisi UU ITE batal masuk ke dalam daftar rancangan undang-undang yang akan dibahas pemerintah dan DPR - atau daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 - sebab sampai saat ini masih dilakukan mendengarkan pendapat publik terkait reformasi pasal dalam undang- undang tersebut.
Adapun, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menindaklanjuti wacana revisi itu dengan mengeluarkan telegram pedoman perlakuan terhadap kasus-kasus ITE, sementara pemeritah hingga kini masih melakukan kajian terhadap revisi undang-undang tersebut.
Pelanggaran kebebasan berekspresi terbanyak dalam enam tahun terakhir
Setidaknya 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan total korban 157 orang - dengan dugaan kriminalisasi baik menggunakan pasal dalam UU ITE maupun KUHP - sepanjang 2020, termasuk di antaranya 15 aktivis dan empat jurnalis, menurut laporan terbaru Amnesty Internasional.
Jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.
"Pada 2020 jumlah orang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik atau menyebarkan berita bohong meningkat," kata Ari Pramuditya, peneliti Amnesty International Indonesia.
Wacana revisi UU ITE sempat mencuat awal tahun ini setelah Presiden Joko Widodo mengutarakan bahwa pemerintah siap merevisi UU ITE jika dalam penerapannya memicu ketidakadilan di tengah masyarakat.
Alih-alih direvisi, UU ITE justru disalahgunakan untuk "memolisikan narasi di ruang siber", menurut Damar Juniarto dari SAFEnet, yang mengatakan pemidanaan terkait ITE kian meningkat didorong terbitnya dua telegram kepala kepolisian Indonesia, yakni pada April dan Oktober 2020.
Pada 4 April 2020, Kapolri mengeluarkan surat telegram yang memuat pelaksanaan patroli siber untuk memantau perkembangan situasi, serta opini di ruang siber dengan sasaran penyebaran berita bohong terkait Covid-19.
Sementara itu, dalam surat telegram tertanggal 2 Oktober 2020, Kapolri memberi tugas baru bagi anggotanya untuk melakukan patroli siber pada media sosial dan melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.
"Itu berkontribusi pada angka pemidanaan," kata Damar.
SAFEnet mencatat, pada 2020 ada 4.790 orang diperiksa akibat UU ITE, mayoritas dikategorikan sebagai pelaku pencemaran nama baik (32%).
"Ada dua hal yang menonjol yang dijerat UU ITE, mereka yang dikategorikan menghina institusi dan presiden, dan mereka yang dianggap melakukan penyebaran hoax atau disinformasi," jelasnya.
Sementara itu, kebebasan berekspresi di Papua "bukan hanya dibatasi, tapi dilarang oleh pemerintah", menurut Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar.
Menurutnya, ada beberapa strategi yang digunakan pemerintah untuk mengurangi ruang berekspresi masyarakat Papua, salah satunya menggunakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat di muka umum, yang membuat warga Papua sulit melakukan unjuk rasa.
"Pihak aparat di sini, bahkan aksinya mau besok, orang yang memberitahukan aksi diperiksa. Ini beberapa kejadian terjadi, misalnya di Wamena. Mau aksi besok, tapi kemudian hari ini orang ya diperiksa," kata Anum.
Selain itu, titik lokasi dilakukan aksi selalu dijaga ketat oleh aparat kepolisian.
Ia menambahkan, imbas dari pembatasan dan media sosial dan UU Ite telah membuat orang asli Papua sangat disoroti, sehingga jika mereka akan berkumpul ada tindakan-tindakan represi.
Menanggapi maraknya pemidanaan yang berkaitan UU ITE, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengatakan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menyusun protap tentang bagaimana pemidaan mereka yang melakukan pidana di media sosial.
"Jadi akan ada satu prosedur di mana dia tak akan semena-mana atau sembarangan. Pemidanaan itu betul-betul ada unsur pidana. Jadi tidak akan mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat," tegas Donny.
19 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat
Dalam laporan terbarunya, Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa aparat keamanan melalukan pelanggaran HAM terhadap warga dan masyarakat adat di Papua dan Papua Barat - sebagian besar berujung tanpa penghukuman atau impunitas.
Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mengatakan sepanjang tahun 2020 ada setidaknya 19 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat di Papua dan Papua Barat dengan total 30 korban.
Dari total kasus dugaan pembunuhan di luar hukum, kata Ari, sebanyak 10 di antaranya diduga dilakukan oleh anggota militer.
Sementara empat kasus diduga dilakukan oleh anggota kepolisian dan lima kasus diduga melibatkan anggota kepolisian dan militer.
"Dari semua kasus di tahun 2020, belum ada satupun kasus yang divonis oleh pengadilan militer maupun pengadilan sipil," kata Ari.
Salah satu kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat adalah yang menimpa pendeta Yeremia Zanambani yang pada September 2020.
Ari menegaskan kekerasan aparat di Papua terabaikan dengan ambisi pembangunan infrastruktur pemerintah tanpa konsultasi dan partisipasi dari masyarakat adat.
"Kami percaya di Amnesty, ada hubungan langsung antara impunitas dengan terawatnya praktik pelanggaran HAM di Papua.
"Impunitas membuat pola kekerasan terus berulang dan ini akan melanggengkan praktik kekerasan di Papua," kata Ari.
Ia menambahkan, pelanggaran HAM lain terhadap orang Papua ialah maraknya pemberangusan kebebasan berekspresi dengan penggunaan pasal makar.
Gustaf Kawer, pengacara HAM Papua menambahkan sepanjang 2020 kekerasan aparat militer dan kepolisian terhadap masyarakat sipil di Papua "meningkat tajam".
Sepanjang Januari - Desember 2020, kata Gustaf, sebanyak 63 peristiwa kekerasan terkait dengan aparat militer dan kepolisian telah mengakibatkan 304 warga sipil menjadi korban.
Penangkapan di luar prosedur hukum merupakan tindakan paling banyak, dengan 36 kasus yang melibatkan 245 orang, diikuti oleh penganiayaan sebanyak 32 kasus yang melibatkan 61 orang.
Menanggapi impunitas aparat di Papua, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menegaskan pemerintahan Jokowi tetap berkomitmen untuk masalah Papua dilakukanberdasarkan protokol penegakkan hukum.
"Bila ada kemudian yang di luar itu, ya silakan saja laporkan untuk ditindaklanjuti," cetusnya.
Sumber: bbcIndonesia
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar